Setitik Embun Pencerah

Ku tatap lagi selembar kain putih yang tergeletak begitu saja di hadapanku. Ku tatap kain itu lekat- lekat. Kain itu hanyalah kain biasa. Sedikit lusuh dan murahan saat ku perhatikan kainnya yang kasar. Hanya dengan selembar uang sepuluh ribuan kau dapat membelinya di pasar tradisional terdekat. Malah kau bisa mendapat kembalian beberapa ribu bila kau beruntung dan pandai menawar.

Namun tetap saja mataku tak bisa lepas memandangnya. Aku bergeming di tempat ku berdiri. Ku rasakan pandangan mataku kabur. Aku pun mengerjap. Lalu . . . tes . . . Sebutir air mataku jatuh di pipiku.

Kuberjalan kain lusuh itu. Seluruh tubuhku bergetar hebat hingga nyaris aku tak bisa menginjakan kaki dengan mantap di bumi. Bukan karena ku takut. Bukan karena ku ngeri. Bukan. Namun karena ku rasakan aliran pemahaman yang begitu hebat mengalun di kalbuku. Ku rasakan kesadaran yang begitu akbar merasuki jiwaku.

Tanganku perlahan terulur menggapai kain lusuh itu. Dan aku semakin yakin. Meski ku tahu aku masih meraba di kegelapan. Meski ku tahu aku masih tertatih dalam kelelahan. Samar kulihat setitik cahaya berada tepat di depan jalan tempat ku kini menuju. Ya. Aku yakin aku selangkah lagi lebih maju menuju kebenaran itu.

*       *      *

“  Sudah berapa kali ku bilang !! Kau tak perlu ikut campur urusanku !!”

“ Tapi Mas, aku istri Mas ! Bagaimanapun juga aku perlu tahu kemana Mas pergi. Katakan Mas, kemana Mas mau pergi ? “

“ Kau tak perlu tahu itu semua ! Dengar, sebagai istri yang baik yang perlu kau lakukan adalah diam di rumah, urus anak dan lakukan pekerjaan rumahmu dengan baik! Hanya itu! “

“ Tapi Mas . . .”

“ Diam! Buat apa kau tanya – tanya tentang itu ?! Aku memberimu jatah cukup setiap bulan. Bukankah kau tidak kekurangan apa – apa ? Lalu kenapa ?”

“ Mas! Ini semua bukan tentang materi !! Ini . . .”

“ Halah !! Dasar munafik !! Kau bilang ini semua bukan tentang materi ?! Lalu apa yang kau lakukan  dengan teman – teman arisan mu itu setiap minggu hah ?!! “

“ Tunggu, Mas ! Aku belum selesai bicara !!

“ Apa ?! Kau berani menarik lenganku ?!  Dasar istri kurang ajar !! “

Lalu ku rasakan telingaku berdenging. Yeah . . . walau memang harus ku akui pemandangan dan suara – suara seperti ini sudah sangat sering ku rasakan. Hampir setiap hari sejak aku SD malah. Namun, tetap saja telingaku selalu berdenging setiap kali ku dengar teriakan marah Ayah dan jerit kesakitan Ibu saling bersahut – sahutan. Bahkan aku sudah hafal adegan selanjutnya setelah ini. Ya, sedu sedan Ibu yang menyesali nasibnya yang malang. Hah . . .

Aku ingat, dulu hatiku selalu tersayat – sayat mendengar suara tangis Ibuku. Namun mungkin karena aku telah melatihnya selama bertahun – tahun, kini aku tak merasakan apa – apa. So, saat rutinitas pertengkaran itu datang aku melatih telingaku untuk tak menghiraukannya. Seperti kali ini aku segera pergi dari neraka ini sebelum aku bisa benar –benar gila !!

*          *          *

Keras suara musik berdentum – dentum di telingaku. Distorsi lampu disco membuat orang –orang semakin larut dalam suasana. Saat seperti ini biasanya aku pasti sudah berjingkrak – jingkrak nggak karuan di bawah sana. Ya. Musik dari Sang DJ memang asik banget buat ngedance.  Sekarang saja kedua temanku sudah setengah nggak sadarkan diri tenggelam dalam alunan musik.

Namun dari tadi aku masih setia ditempat duduk dudukku di temani segelas anggur berkadar alkohol tinggi. Suasana glamour yang bagiku bagaikan separuh nyawaku kini entah kenapa tak terasa semenyenangkan dulu lagi. Bahkan nyaris membosankan. Minuman keras yang bagiku sudah seperti jus kesehatan kini terasa terlau pahit membakar kerongkonganku. Aku nggak mengerti. Aku merasa begitu sepi. Padahal logikaku menyadari teriakan orang – orang dan suara dentum musik terasa memekakan telingaku.

Aku nggak tahu kenapa moodku bisa jatuh bebas seperti ini. Apa karena pertengkaran Ayah dan Ibuku tadi ? Ahhh . . . itu nggak mungkin ! Aku sudah sangat terbiasa dengan hal – hal seperti itu sejak aku kecil.

Hampa. Kekosongan yang tak nyaman merangkul ulu hatiku. Aku nggak tahu perasaan apa ini sebenarnya. Namun satu hal yang pasti. Aku benci dengan perasaan ini. Entah apa pun itu sebenarnya.

“Airi ?! Ngapain kau masih disini ? Kau nggak turun ? “

Aku menoleh. Kulihat salah seorang sahabatku, Disty, sudah di sampingku dengan wajah yang berbinar – binar. Hah . . . Taruhan. Pasti dia baru saja mendapatkan gebetan baru ( lagi ).

“ Nggak ah ! Males ! “ jawabku acuh sambil mengangkat bahu.

Disty menatap ku lekat – lekat. Ada kerut kecil di wajahnya. Yeah . . aku mengerti. Aku, sahabatnya yang notabene dijuluki Ratu Clubbing, berkata males turun ke dance floor ?!! Ini pasti kasus besar! Menurut mereka paling tidak.

“ Kau nggak apa – apa, Ai ? Kau sakit ?? “ tanya Disty cemas. Segera meletakkan telapak tangannya di dahiku. Mengecek suhu tubuhku.

“ Hey, apa – apaan seh kau, Disty ??” kataku mengelak dari tangannya.

“ Hemm. . . suhu tubuhmu normal kok. Apa yang terjadi, Ai ?? Ah, aku harus memanggil Riri . . .” kata Disty mau bergegas pergi menghampiri sahabat kami yang satunya lagi. Segera aku menahan tangannya. Aku nggak mau urusan ini jadi tambah merepotkan.

“ Hey, Disty ?! Nggak usah lebai gitu deh ! Aku cuma lagi gak mood aja tau !! Gak usah dibesar – besarkan lagi !”

“Ok, Ok, aku ngerti. Tapi cerita donk ! Nggak mungkin nggak terjadi sesuatu. Ayo cerita donk !! “ rengek Disty.

“ Disini ? Kau gila ya ?? Apa aku harus cerita dengan setengah berteriak seperti ini terus ?? “

Disty terdiam sejenak sebelum meledak tertawa. Dasar ! Kebiasaan lola-nya pasti kambuh lagi. Dia baru sadar kalau dari tadi kami berdua mengobrol dengan saling berteriak satu sama lain. Maklumlah kalau kami nggak saling berteriak kami suara kami kalah jauh dengan suara musik.

“ He . . . he . . . Iya, ya . . . aku baru sadar . . . Trus gamana donk ?!! “

“ Yee . . ya nggak gimana – gimana donk ! Emang harus gimana ?! Ini masalah ku ! Kenapa kau yang ribut seh ?!! Sudahlah aku mau pulang ! “ kataku beranjak pergi. Namun Disty menahanku.

“ Lho ? Pulang ? Ngapain ? “

“ Kepalaku pusing ! Kalau aku disini terus menerus, aku bisa bener – bener gila ! Sampaikan salamku ke Riri ya ! See you tomorrow ! ”

Kataku terus berjalan ke arah pintu keluar meski samar kudengar suara Disty memang – manggilku. Sebenarnya aku nggak tau mau kemana. Aku tak akan pulang kerumah. Itu pasti. Rumah neraka itu tak akan membantuku menghilangkan suntuk di kepalaku ini. Namun aku tahu, aku harus keluar dari tempat ini. Aku membutukan udara segar untuk menjernihkan kepalaku.

*          *          *

Ternyata seperti ini suasana kota Jogjakarta di malam hari. Aku sudah sangat sering berkeliaran di kota ini pada malam hari. Namun baru kali ini aku benar – benar mencermati seperti apa suasana kota Jogja yang sebenarnya pada malam hari. Dan . . . wow !! Aku tak menyangka masih ada kehidupan meski malam melangkah semakin larut. Ku menoleh ke arah alun – alun kota. Gerombolan anak punk, dengan keadaan setengah sadar karena kebanyakan minum, sibuk bermain kartu lengkap dengn rokok di tangan. Belum lagi banyak pasangan pemuda – pemudi saling bercengkrama. Aku memalingkan pandanganku  dari sana. Entahlah . . . tiba – tiba saja aku merasa risih melihatnya. Padahal bersamaan dengan itu, masih teringt jelas di benakku diriku sendiri ada di posisi mereka.

Aku jadi bertanya – tanya. Apa hal – hal yang ku lihat tadi dosa ya ??  Sebelumnya aku tak pernah memikirkannya . . . Tapi . . .

JDUG .  . .  BRUK . . !!!

“ Oh . . . Shit ! “ kutukku keras saat tanpa sopan santun seseorang menabrakku. Aku pun terjatuh dengan keras ke tanah.

“ Oh maaf – maaf . . . Aku nggak sengaja mbak . . . ” ucap seseorang yang bertabrakan denganku tadi.

Aku mendongak menatapnya. Seorang lelaki berpakaian rapi berdiri di hadapanku. Wajahnya tampak gugup.

“ Sekali lagi maaf mbak . . . Aku benar – benar nggak sengaja. Hah . .  ternyata benar kita sebaiknya memang tidak membaca buku sambil berjalan. . .” ujarnya menyalahkan diri sendiri.

“ OK ,  santai saja kenapa seh ! Nggak usah berlebihan kayak gitu. Tapi bantu aku berdiri donk ! Sakit ni ! Tabrakanmu tadi lumayan keras tau ! “

Aku mengulurkan tangan menunggu sambutan bantuannya. Namun hening. Laki –laki itu masih saja terdiam. Ia hanya menatap tanganku dan tampak bimbang. Dua menit tiga belas detik. Wahh . . penghinaan nih ! Apa –apaan seh laki – laki itu ! Udah nabrak – nabrak nggak jelas. Nggak mau nolongin juga !

“ Heh ! Apa – apaan seh lo ! Sombong banget seh ! Gitu ja nggak mau nolongin ?! Nggak tanggung jawab banget jadi cowok ?! Hah !!” gerutuku sewot sambil tertatih berdiri dari jatuhku.

“ Bu,bukan begitu begitu mbak . . . Hanya saja kita bukan mahram dan . . “

“ Halah ! Bulshit ! Sudahlah ! Aku yang salah telah minta tolong padamu ! Cowok memang nggak ada yang bisa dipercaya ! “

Aku membalikkan badan. Terus berlalu tanpa menghiraukan laki – laki itu memohon – mohon maafku. Hah ! Apes banget memang aku hari ini.

Aku terus berjalan ke depan. Kulihat sebuah masjid berdiri di hadapanku. Hemm . . sepertinya laki – laki tadi dari arah sini. Apa dari masjid ini ? Apa yang dilakukannya di tempat seperti itu ??

Masjid . . . Hemm . . Sepertinya tempat yang nyaman buat bermalam. Lagipula aku belum pernah menginap di masjid sebelum ini. Boleh nggak ya ? He. . .  he . . . he. . . Hemm. . . kalau dipikir – pikir ini senyum pertamaku sejak .  . yeahh . .  lama sekali.

*          *          *

Pantai Laut Selatan. Biasanya orang – orang juga menyebutnya dengan sebutan Pantai Parangtritis. Seru juga melihat Sunrise di pantai seperti saat ini. Yeah . . . meski harus kuakui karena pantai ini terletak di selatan Indonesia jadi kurang bagus untuk melihat sunrise. Tapi tak apalah .  . . Yang penting bisa membuat hatiku lebih plong . . . Aneh memang. Setelah aku bermalam di masjid kemarin hatiku tiba – tiba saja jadi ringan sekali. Ahhh . . . rasanya seneng banget.

JDUG .  . .  BRUK . . !!!

Oh! Shit ! Lagi – lagi menubruk seseorang dan terjatuh.

“ Ah ! Ma,maaf , Mbak .  . . A,aku bener – bener nggak sengaja . . “ jawab seseorang yang menabrakku dengan nada penuh permohonan maaf.

Aku, yang sedang sibuk memeriksa sikuku yang terluka, sebenarnya nggak berniat marah. Apalagi karena saat ini moodku sedang baik – baiknya. Namun saat ku mendongak menatap seseorang yang menabrakku, aku terkesiap.

“ Kau lagi ?!!! “

Seseorang itu adalah laki – laki yang menabrakku tadi malam. Hah ! Menyebalkan ! Kenapa harus cowok itu lagi seh ?!! Ehh, dia malah senyam – senyum lagi.

“ Hehh ,malah seny­­­__”

Maksud hati sich ingin beranjak dari jatuhku dan memarahi dia. Namun kakiku ternyata kesleo. Auww. . . sakit !!

“ Ehh, kau nggak apa – apa ?? “ kata laki – laki itu ingin memegang dan menahanku agar tak terjatuh. Namun di tengah jalan ia menarik tangannya kembali. Alhasil aku kembali terjatuh untuk kedua kalinya.

“ Auwwww !!!!”

“ Ehh, Mbak . . Kau nggak apa – apa ?? “ tanya laki – laki itu cemas.

Aku mendongak menatapnya sebal. Hah ! Nadanya cemas. Sesaat ia seperti ingin mengulurkan tangan membantuku. Namun urung, ditariknya tangannya kembali. Kesannya ia seperti jijik nggak mau menyentuhku ! Menyebalkan !! Adududuhh !! Kakiku sakit !!

*          *          *

“ Namaku Lukman, ”

Laki – laki itu memperkenalkan dirinya tanpa mengulurkan tangan. Menatap mataku pun tidak. Dasar aneh !

Aku dan dia kini duduk di bawah pohon. Dan kau percaya atau tidak, kami ngobrol dengan jarak tak kurang dari 1 meter satu sama lain ! Bahkan sepertinya ia tampak nggak ikhlas menemaniku disini. Mungkin kalau bukan karena dia merasa bersalah  telah menyebabkan kakiku kesleo, dia takkan mungkin menemaniku memijit – mijit kaiku yang kesleo ini sendirian.

“ Kau pasti menganggapku aneh,” celotehnya tiba – tiba.

Aku menoleh menatapnya.

“ Ada batasan – batasan yang jelas untuk orang  orang yang bukan mahramnya. Dan aku hanya mencoba berusaha menaatinya,”

Dia tersenyum melihat dahiku berkerut tak mengerti. Namun sepertinya dia tak berminat untuk menjelaskannya lebih lanjut.

Sesaat kami hanya terdiam. Sibuk melihat pemandangan di depan kami.

Kulihat ada beberapa gerombolan orang, dengan pakai adat, membawa berbagai macam bahan makanan berjalan menuju laut. Hah ?? Sedang apa mereka ??

“ Lucu ya kalau di pikir – pikir sebenarnya ,” ucapnya tiba- tiba.

Aku menoleh menatapnya. Ternyata di juga sedang melihat gerombolan orang – orang itu, yang kini sedang menghanyutkan bahan – bahan makanan itu ke laut.

“ Apa maksudmu ? Lucu ?”

“ Ya, apa gunanya kita memberi sedekah pada laut ? Agar hidup kita makmur ? Ha ha ha . . . Lucu. Bukankah laut juga sama – sama ciptaan-Nya ? Buat apa kita menyedekahi laut ? Bikin kotor laut aja. Bukankah lebih baik kita berdoa langsung pada Allah ? Sang Maha Pemberi Pengasih dan Penyayang. . . Sempurna !” kata laki – laki itu sambil tersenyum.

Aku perhatikan dia selalu tersenyum setiap membicarakan tentang Tuhannya itu.

“ Jadi Allah benar – benar ada ?”

Tanpa aku sadari apa yang aku tanyakan, mulutku sudah bergerak. Dia memandangku aneh.

“ Tentu saja. Bagaimana bisa kau masih menyangsikannya ? Kau pikir dari mana pemandangan ini berasal? “ Katanya dengan mata berbinar – binar.

Dan tanpa ku sadari ada sesuatu yang sejuk sekaligus hangat menjalar di hatiku seiring dengan setiap kata – katanya yang bercerita tentang Tuhannya itu.

*          *          *

Beberapa hari setelah itu aku pergi ke masjid tempat ku menginap waktu itu. Disana ternyata sering ada pengajian. Dan tanpa ku berfikir lebih lanjut tentang apa yang kuperbuat, aku menghadirinya. Hahh . . .  apa kata teman – temanku nanti  kalau mereka tahu aku menghadiri sebuah pengajian ???

Dari kejauhan aku melihat sosok yang tidak asing. Lukman. Ternyata ia juga ikut pengajian disini. Sesaat mata kami saling bertubrukan. Namun ia langsung mengalihkan pandangannya. Meski kini kutahu sedikit apa penyebabnya tapi tetap saja itu aneh bagiku.

Kira – kira kenapa ia selau bersikap aneh seperti itu ya ?? Aku terus berjalan ke arah masjid sambil memikirkannya.

Tiba – tiba saja di lantai masjid aku melihatnya. Sebuah kain putih. Sepertinya  sebuah kerudung. Milik siapa kira – kira ?

Ku tatap lagi selembar kain putih yang tergeletak begitu saja di hadapanku. Ku tatap kain itu lekat- lekat. Mungkin kain itu hanyalah kain biasa. Sedikit lusuh dan murahan saat ku perhatikan kainnya yang kasar. Hanya dengan selembar uang sepuluh ribuan kau dapat membelinya di pasar tradisional terdekat. Malah kau bisa mendapat kembalian beberapa ribu bila kau beruntung dan pandai menawar.

Namun tetap saja mataku tak bisa lepas memandangnya. Aku bergeming di tempat ku berdiri. Ku rasakan pandangan mataku kabur. Aku pun mengerjap. Lalu. . . tes. . .Sebutir air mataku jatuh di pipiku.

Kuberjalan menghampiri kain lusuh itu. Seluruh tubuhku bergetar hebat hingga nyaris aku tak bisa menginjakan kaki dengan mantap di bumi. Bukan karena ku takut. Bukan karena ku ngeri. Bukan. Namun karena ku rasakan aliran pemahaman yang begitu hebat mengalun di kalbuku. Ku rasakan kesadaran yang begitu akbar merasuki jiwaku.

Tanganku perlahan terulur menggapai kain lusuh itu. Dan aku semakin yakin. Meski ku tahu aku masih meraba di kegelapan. Meski ku tahu aku masih tertatih dalam kelelahan. Samar kulihat setitik cahaya berada tepat di depan jalan tempat ku kini menuju. Ya. Aku yakin aku selangkah lagi lebih maju menuju kebenaran itu.

Perlahan aku memakai kain itu sebagai hijabku.

Leave a comment